- "Buku adalah gudang ilmu, membaca dan bertanya adalah kunci-kuncinya" -

Monday, July 18, 2016

Keutamaan Shalat Tahajud

Ibnu Manzhur di dalam kitab lisanul ‘arob menyatakan, pengertian shalat tahajjud adalah shalat sunnah yang dilakukan seseorang setelah ia bangun dari tidurnya di malam hari meskipun tidurnya hanya sebentar.



Adapun hukum dari shalat tahajjud ini adalah sunnah muakaddah. Allah Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat hamba-Nya yang beriman, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (QS. Al-Furqan: 64).
Allah Ta’ala juga menyatakan, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah Ta’ala”. (QS. adz-dzariyaat 17-18).

Gambaran orang-orang yang sempurna keimanannya” berikut ini, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya sedangkan mereka berdo’a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap dan mereka menafkahkan sebagian rezqi yang kami berikan kepada mereka tak seorangpun mangetahui apa yang di sembunyikan untuk mereka (dari bermacam macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS. As-Sajdah: 16-17)

Allah Ta’ala juga berfirman, “(Apakah kamu wahai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya (hanya) orang yang berakal (saja) yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9)

Karena begitu agungnya sholat tahajjud ini, sehingga Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. (QS. Al-Muzammil: 1-4).


Allah Ta’ala juga menyatakan, “Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al-Israa’: 79)

Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sujud”. (QS. Qaaf: 40). Begitu pula Rasulullah sangat menganjurkan untuk mengerjakan ibadah itu. Beliau bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa di bulan muharram, dan sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam”. (HR. Muslim).

Keutamaan shalat malam sangat besar karena hal-hal berikut :

1. Besarnya perhatian Nabi untuk shalat malam hingga kaki beliau pecah-pecah. Seperti apa yang telah di tuturkan istri beliau ‘Aisyah -radiyallahu’anha- beliau berkata bahwa Nabi biasa mengerjakan sholat hingga kaki beliau pecah-pecah. ‘Aisyah -radiyallahu’anha- berkata,“Kenapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Beliau bersabda , “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur”. (HR. Muslim)

Juga dalam hadits Mughiroh, beliau berkata “Pernah Rasulullah berdiri sangat lama (dalam sholat) hingga ke dua kaki beliau membengkak”. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau “Bukankah Allah Ta’ala telah mengampuni dosa dosamu yang telah lalu dan akan datang?” Beliau bersabda, “Apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang bersyukur”.

2. Sholat malam itu termasuk sebab di tinggikannya derajat seorang hamba di dalam kamar-kamar surga. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari, bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang nampak bagian luarnya dari dalamnya, dan tampak bagian dalamnya dari luarnya. Allah Ta’ala telah menjadikan kamar-kamar tersebut bagi orang orang yang memberi makan, melembutkan suara, memperbanyak puasa dan mengerjakan sholat malam ketika orang sedang lelap tidur”. (HR Ahmad)

3. Orang yang telah menegakkan sholat malam adalah orang-orang yang telah berbuat ihsan dan berhak mendapatkan rahmat yang besar dari Allah Ta’ala dan surga-Nya. Karena mereka itu adalah, “Orang-orang yang sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir akhir malam meraka memohon ampunan kepada Allah Ta’ala” (Q.S Adz-Dzariyat: 16-18).

4. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang selalu menjaga sholat malam dalam kelompok para hamb-hamba yang berbakti dan beriman. Allah Ta’ala menyatakan tentang hamba-hamba yang mulia ini, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (QS. Al-Furqan: 64).

5. Orang yang melaksanakan sholat malam dipersaksikan sebagai orang yang memiliki keimanan yang sempurna. Allah Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami itu mereka segera bersujud, seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan tidak pula mereka menyombongkan diri. Lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan” (QS. As-Sajdah: 15-16).

6. Orang-orang yang biasa sholat malam adalah orang-orang yang “didengki” (patut membuat kita iri hati kepada mereka yang mengerjakannya karena kebaikan mereka) karena agungnya pahala yang didapat. Pahala tersebut lebih baik dari pada dunia dan seisinya berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar , bahwa Rasulullah bersabda,“Tidak boleh hasad kecuali 2 golongan manusia, yaitu orang yang telah Allah Ta’ala beri Al-Qur’an lalu dia membacanya di malam dan siang hari; dan seorang yang telah Allah Ta’ala beri harta lalu dia infaqkan di malam dan siang hari” (HR. Muslim).

Pada asalnya sholat malam boleh dikerjakan di awal waktu malam, di pertengahannya, atau bisa juga dilaksanakan pada akhir waktu malam; dan ini merupakan kemudahan dalam beribadah. Jadi seseorang bisa mengerjakan sholat malam sesuai dengan kemampuannya, dan yang mudah baginya. Akan tetapi waktu yang paling utama untuk mengerjakan sholat malam adalah waktu seper tiga malam terakhir, berdasarkan hadits ‘Amr bin Abasah , bahwa dia pernah mendengar Nabi bersabda,“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Robbnya adalah dibagian malam yang terakhir. Jika kamu sanggup untuk berdzikir di waktu-waktu itu maka lakukanlah” (HR. Tirmidzi).
 

Thursday, July 7, 2016

Hukum dalam Puasa Sunnah 6 Hari Bulan Syawal



Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
 

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.”

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)

Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit”

Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)
 

Wednesday, July 6, 2016

Arti Minal Aidin wal Faizin yang Sebenarnya

Kata-kata minal aidin wal faidzin sudah sangat familiar di telinga kita. Ungkapan ini sering didengar saat hari raya idul fitri tiba. Dan yang mengucapkannya pun tidak hanya kaum muslim saja, bahkan kaum non muslim pun sangat fasih dalam melafalkannya. Apa sih makna dari kata tersebut ?
 
Ternyata sebagian orang kurang tepat dalam menggunakan ungkapan tersebut, ato orang jawa biasa mengatakan "pendono". Mereka beranggapan bahwa kata tersebut sebagai kata permintaan maaf, sehingga minal aidin wal faizin=mohon maaf lahir dan batin. Sangat sering kita jumpai orang yang mengungkapkan tersebut guna meminta maaf, misal "mumpung masih lebaran, minal aidin wal faizain ya mbak,,!!", ato "pa kabar mas,,mianal aidin wal faizin ya,,!!".
 
Kata minal aidin wal faizin sebenarnya bukan budaya arab. Karena pada zaman Rasulullah, ketika masuk idul fitri yang diucapkan adalah "taqobbalallahu minna waminkum,shiyamana wa shiyamakum" yang artinya semoga Allah menerima puasa kami dan kaliyan. Karena orang arab ketika berpisah dengan ramadhan, mereka sangat susah dan hawatir jika puasa 1 bulan menjadi sia-sia. 
 
Lalu apa sebenarnya arti dan maksud minal aidin wal faizin ? kata aidin berasal dari kata 'id yang artinya kembali, sedangkan aidin adalah pelakunya ato orang-orang yang kembali. Sedangkan faizin berasal dari kata fawz yang artinya kemenangan, faizin adalah orang yang menang. Ulama' Indonesia selain menggunakan taqobalallahu mina waminkum siyamana wa siyamakum, ditambah lagi ja'alnallahu minal aidin wal faizin yang artinya semoga Allah menjadikan kita orang2 yang kembali (suci) dan bagian dari orang2 yang menang karena telah melewati ramadhan yang penuh cobaan. Jadi kata minal aidin wal faizin adalah bagian dari do'a, dengan menambahkan ja'alnallahu. Maka dari itu, ungkapan minal aidin wa faizin kurang tepat jika diungkapkan untuk meminta maaf, karna artinya bukan permintaan maaf. Sebaiknya jika ingin meminta maaf cukup dengan mengucapkan "mohon maaf lahir batin", lebih afdol lagi jika diawali dengan do'a "taqobbalallahu minna wa minkum siyamana wa siamakum, wataqobbal ya karim, ja'alnallahu minal aidin wal faizin", baru mohon maaf lahir batin, komplit banget dah.

sumber

 
Terima Kasih atas kunjungan Saudara... Semoga bermmanfaat ^_^